Pakuan Pajajaran
Pakuan
Pajajaran atau Pakuan
(Pakwan) atau Pajajaran adalah pusat pemerintahan Kerajaan Sunda, sebuah kerajaan yang selama
beberapa abad (abad ke-7 hingga abad ke-16) pernah berdiri di wilayah barat pulau Jawa. Lokasi Pakuan Pajajaran berada di
wilayah Bogor, Jawa Barat sekarang. Pada masa lalu, di Asia
Tenggara ada kebiasaan menyebut nama kerajaan dengan nama ibu kotanya sehingga
Kerajaan Sunda sering disebut sebagai Kerajaan Pajajaraan. Lokasi Pajajaran
pada abad ke 15 dan abad ke-16 bisa dilihat pada peta Portuguese Colonial
Dominions in India and the Malay Archipelago – 1498-1580 yang dapat dilihat
pada link http://www.themapdatabase.com/category/location/asia/indonesia/.
Sumber utama
sejarah yang mengandung informasi mengenai kehidupan sehari-hari di Pajajaran
dari abad ke 15 sampai awal abad ke 16 dapat ditemukan dalam naskah kuno Bujangga Manik. Nama-nama tempat, kebudayaan,
dan kebiasaan-kebiasaan masa itu digambarkan terperinci dalam naskah kuno
tersebut. [1]
Kehancuran
Pakuan
Pajajaran hancur, rata dengan tanah, pada tahun 1579
akibat serangan pecahan kerajaan Sunda, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Kerajaan
Sunda ditandai dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana
raja), dari Pakuan Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran
200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi politik agar di Pakuan
Pajajaran tidak dimungkinkan lagi penobatan raja baru, dan menandakan Maulana
Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena buyut perempuannya adalah
puteri Sri Baduga Maharaja,
raja Kerajaan Sunda. Palangka Sriman Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan
di depan bekas Keraton Surosowan
di Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap
atau berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Saat itu
diperkirakan terdapat sejumlah punggawa istana yang meninggalkan istana lalu
menetap di daerah Lebak. Mereka
menerapkan tata cara kehidupan mandala yang ketat, dan sekarang mereka dikenal
sebagai orang
Baduy.
Toponimi Pakuan dan Pajajaran
Asal-usul dan
arti Pakuan terdapat dalam berbagai sumber. Di bawah ini adalah hasil
penelusuran dari sumber-sumber tersebut berdasarkan urutan waktu[2]:
- Naskah Carita Waruga Guru (1750-an). Dalam naskah berbahasa Sunda Kuna ini diterangkan bahwa nama Pakuan Pajajaran didasarkan bahwa di lokasi tersebut banyak terdapat pohon Pakujajar.
- K.F. Holle (1869). Dalam tulisan berjudul De Batoe Toelis te Buitenzorg (Batutulis di Bogor), Holle menyebutkan bahwa di dekat Kota Bogor terdapat kampung bernama Cipaku, beserta sungai yang memiliki nama yang sama. Di sana banyak ditemukan pohon paku. Jadi menurut Holle, nama Pakuan ada kaitannya dengan kehadiran Cipaku dan pohon paku. Pakuan Pajajaran berarti pohon paku yang berjajar ("op rijen staande pakoe bomen").
- G.P. Rouffaer (1919) dalam Encyclopedie van Niederlandsch Indie edisi Stibbe tahun 1919. Pakuan mengandung pengertian "paku", akan tetapi harus diartikan "paku jagat" (spijker der wereld) yang melambangkan pribadi raja seperti pada gelar Paku Buwono dan Paku Alam. "Pakuan" menurut Fouffaer setara dengan "Maharaja". Kata "Pajajaran" diartikan sebagai "berdiri sejajar" atau "imbangan" (evenknie). Yang dimaksudkan Rouffaer adalah berdiri sejajar atau seimbang dengan Majapahit. Sekalipun Rouffaer tidak merangkumkan arti Pakuan Pajajaran, namun dari uraiannya dapat disimpulkan bahwa Pakuan Pajajaran menurut pendapatnya berarti "Maharaja yang berdiri sejajar atau seimbang dengan (Maharaja) Majapahit". Ia sependapat dengan Hoesein Djajaningrat (1913) bahwa Pakuan Pajajaran didirikan tahun 1433.
- R. Ng. Poerbatjaraka (1921). Dalam tulisan De Batoe-Toelis bij Buitenzorg (Batutulis dekat Bogor) ia menjelaskan bahwa kata "Pakuan" mestinya berasal dari bahasa Jawa kuno "pakwwan" yang kemudian dieja "pakwan" (satu "w", ini tertulis pada Prasasti Batutulis). Dalam lidah orang Sunda kata itu akan diucapkan "pakuan". Kata "pakwan" berarti kemah atau istana. Jadi, Pakuan Pajajaran, menurut Poerbatjaraka, berarti "istana yang berjajar"(aanrijen staande hoven).
- H. ten Dam (1957). Sebagai seorang pakar pertanian, Ten Dam ingin meneliti kehidupan sosial-ekonomi petani Jawa Barat dengan pendekatan awal segi perkembangan sejarah. Dalam tulisannya, Verkenningen Rondom Padjadjaran (Pengenalan sekitar Pajajaran), pengertian "Pakuan" ada hubungannya dengan "lingga" (tonggak) batu yang terpancang di sebelah prasasti Batutulis sebagai tanda kekuasaan. Ia mengingatkan bahwa dalam Carita Parahyangan disebut-sebut tokoh Sang Haluwesi dan Sang Susuktunggal yang dianggapnya masih mempunyai pengertian "paku".
Ia berpendapat
bahwa "pakuan" bukanlah nama, melainkan kata benda umum yang berarti ibukota
(hoffstad) yang harus dibedakan dari keraton. Kata "pajajaran"
ditinjaunya berdasarkan keadaan topografi. Ia merujuk laporan Kapiten Wikler
(1690) yang memberitakan bahwa ia melintasi istana Pakuan di Pajajaran yang
terletak antara "Sungai Besar" dan "Sungai Tanggerang"
(sekarang dikenal sebagai Ci Liwung dan Ci Sadane). Ten Dam menarik kesimpulan bahwa nama
"Pajajaran" muncul karena untuk beberapa kilometer Ci Liwung dan Ci
Sadane mengalir sejajar. Jadi, Pakuan Pajajaran dalam pengertian Ten Dam adalah
Pakuan di Pajajaran atau "Dayeuh Pajajaran".
Sebutan
"Pakuan", "Pajajaran", dan "Pakuan Pajajaran"
dapat ditemukan dalam Prasasti Batutulis
(nomor 1 & 2) sedangkan nomor 3 bisa dijumpai pada Prasasti Kebantenan
di Bekasi.
Dalam naskah Carita Parahiyangan
ada kalimat berbunyi "Sang Susuktunggal, inyana nu nyieunna palangka
Sriman Sriwacana Sri Baduga Maharajadiraja Ratu Haji di Pakwan Pajajaran nu
mikadatwan Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, inyana pakwan Sanghiyang
Sri Ratu Dewata" (Sang Susuktunggal, dialah yang membuat tahta Sriman
Sriwacana (untuk) Sri Baduga Maharaja Ratu Penguasa di Pakuan Pajajaran yang
bersemayam di keraton Sri Bima Punta Narayana Madura Suradipati, yaitu pakuan
Sanghiyang Sri Ratu Dewata).
Sanghiyang Sri
Ratu Dewata adalah gelar lain untuk Sri Baduga. Jadi yang disebut
"pakuan" itu adalah "kadaton" yang bernama Sri Bima dan
seterunya. "Pakuan" adalah tempat tinggal untuk raja, biasa disebut
keraton, kedaton atau istana. Jadi tafsiran Poerbatjaraka lah yang sejalan
dengan arti yang dimaksud dalam Carita Parahiyangan, yaitu "istana yang
berjajar". Tafsiran tersebut lebih mendekati lagi bila dilihat nama istana
yang cukup panjang tetapi terdiri atas nama-nama yang berdiri sendiri.
Diperkirakan ada lima (5) bangunan keraton yang masing-masing bernama: Bima,
Punta, Narayana, Madura dan Suradipati. Inilah mungkin yang biasa disebut dalam
peristilahan klasik "panca persada" (lima keraton). Suradipati adalah
nama keraton induk. Hal ini dapat dibandingkan dengan nama-nama keraton lain,
yaitu Surawisesa di Kawali, Surasowan
di Banten dan Surakarta di Jayakarta pada masa silam.
Karena nama
yang panjang itulah mungkin orang lebih senang meringkasnya, Pakuan Pajajaran
atau Pakuan atau Pajajaran. Nama keraton dapat meluas menjadi nama ibukota dan
akhirnya menjadi nama negara. Contohnya : Nama keraton Surakarta
Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang meluas menjadi nama ibukota dan
nama daerah. Ngayogyakarta Hadiningrat dalam bahasa sehari-hari cukup disebut Yogya.
Pendapat Ten
Dam (Pakuan = ibukota ) benar dalam penggunaan, tetapi salah dari segi semantik. Dalam laporan Tome Pires (1513) disebutkan bahwa bahwa ibukota
kerajaan Sunda itu bernama "Dayo" (dayeuh) dan terletak di daerah
pegunungan, dua hari perjalanan dari pelabuhan Kalapa di muara Ciliwung. Nama "Dayo" didengarnya
dari penduduk atau pembesar Pelabuhan Kalapa. Jadi jelas, orang Pelabuhan
Kalapa menggunakan kata "dayeuh" (bukan "pakuan") bila
bermaksud menyebut ibukota. Dalam percakapan sehari-hari, digunakan kata
"dayeuh", sedangkan dalam kesusastraan digunakan "pakuan"
untuk menyebut ibukota kerajaan.
Karena lokasi
Pakuan yang berada di antara dua sungai yang sejajar maka Pakuan disebut juga
Pajajaraan.
Dalam kropak
(tulisan pada lontar atau daun nipah) yang diberi nomor 406 di Mueseum Pusat
terdapat petunjuk yang mengarah kepada lokasi Pakuan. Kropak 406 sebagian telah
diterbitkan khusus dengan nama Carita Parahiyangan. Dalam bagian yang belum
diterbitkan (biasa disebut fragmen K 406) terdapat keterangan mengenai kisah
pendirian keraton Sri Bima, Punta, Narayana Madura Suradipati:
Di inya urut kadatwan, ku Bujangga
Sedamanah ngaran Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Anggeus
ta tuluy diprebolta ku Maharaja Tarusbawa deung Bujangga Sedamanah. Disiar ka
hulu Ci Pakancilan. Katimu Bagawat Sunda Mayajati. Ku Bujangga Sedamanah dibaan
ka hareupeun Maharaja Tarusbawa.
Artinya: Di sanalah bekas keraton yang oleh Bujangga Sedamanah
diberi nama Sri Kadatuan Bima Punta Narayana Madura Suradipati. Setelah
selesai [dibangun] lalu diberkati oleh Maharaja Tarusbawa dan Bujangga
Sedamanah. Dicari ke hulu Ci Pakancilan. Ditemukanlah Bagawat Sunda Majayati.
Oleh Bujangga Sedamanah dibawa ke hadapan Maharaja Tarusbawa.
|
”
|
Dari sumber
kuno itu dapat diketahui bahwa letak keraton tidak akan terlalu jauh dari
"hulu Ci Pakancilan". Hulu sungai ini terletak di dekat lokasi
kampung Lawanggintung yang sekarang, sebab ke bagian hulu sungai ini disebut
Ciawi. Dari naskah itu pula kita mengetahui bahwa sejak zaman Pajajaran sungai
itu sudah bernama Ci Pakancilan. Hanyalah juru pantun kemudian menerjemahkannya
menjadi Ci Peucang. Dalam bahasa Sunda Kuna
dan Jawa Kuna
kata "kancil" memang berarti "peucang".
Berita-berita VOC
Laporan
tertulis pertama mengenai lokasi Pakuan diperoleh dari catatan perjalan
ekspedisi pasukan VOC ("Verenigde Oost Indische
Compagnie"/Perserikatan Kumpeni Hindia Timur) yang oleh bangsa kita lumrah
disebut Kumpeni. Karena Inggris pun memiliki
perserikatan yang serupa dengan nama EIC ("East India Company"), maka
VOC sering disebut Kumpeni Belanda dan EIC disebut
Kumpeni Inggris.
Setelah
mencapai persetujuan dengan Cirebon (1681), Kumpeni
Belanda menandatangani persetujuan dengan Banten (1684). Dalam persetujuan itu ditetapkan Ci Sadane
menjadi batas kedua belah pihak.
Laporan Scipio
Dua catatan
penting dari ekspedisi Scipio adalah:
- Catatan perjalanan antara Parung Angsana (Tanah Baru) menuju Cipaku dengan melalui Tajur, kira-kira lokasi Pabrik "Unitex" sekarang. Berikut adalah salah satu bagian catatannya: "Jalan dan lahan antara Parung Angsana dengan Cipaku adalah lahan yang bersih dan di sana banyak sekali pohon buah-buahan, tampaknya pernah dihuni".
- Lukisan jalan setelah ia melintasi Ci Liwung. Ia mencatat "Melewati dua buah jalan dengan pohon buah-buahan yang berderet lurus dan tiga buah runtuhan parit". Dari anggota pasukannya, Scipio memperoleh penerangan bahwa semua itu peninggalan dari Raja Pajajaran.
Dari
perjalanannya disimpulkan bahwa jejak Pajajaran yang masih bisa memberikan
"kesan wajah" kerajaan hanyalah "Situs Batutulis".
Penemuan Scipio
segera dilaporkan oleh Gubernur Jenderal Joanes Camphuijs kepada atasannya di
Belanda. Dalam laporan yang ditulis tanggal 23 Desember 1687, ia memberitakan
bahwa menurut kepercayaan penduduk, dat hetselve paleijs en specialijck de
verheven zitplaets van den getal tijgers bewaakt ent bewaart wort (bahwa
istana tersebut terutama sekali tempat duduk yang ditinggikan untuk raja
"Jawa" Pajajaran sekarang masih berkabut dan dijaga serta dirawat
oleh sejumlah besar harimau).
Rupanya laporan
penduduk Parung Angsana ada hubungannya dengan seorang anggota ekspedisi yang
diterkam harimau di dekat aliran Ci Sadane pada malam tanggal 28 Agustus 1687.
Diperkirakan Situs Batutulis pernah menjadi sarang harimau dan ini telah
menumbuhkan mitos adanya hubungan antara Pajajaran yang sirna dengan keberadaan
harimau.
Laporan Adolf Winkler (1690)
Laporan Scipio
menggugah para pimpinan Kumpeni Belanda. Tiga tahun kemudian dibentuk kembali
team ekspedisi dipimpin oleh Kapiten Adolf
Winkler. Pasukan Winkler terdiri dari 16 orang kulit putih dan 26
orang Makasar serta seorang ahli ukur.
Perjalanan
ringkas ekspedisi Winkler adalah sebagai berikut :
Seperti Scipio,
Winkler bertolak dari Kedunghalang lewat Parung Angsana (Tanah Baru) lalu ke
selatan. Ia melewati jalan besar yang oleh Scipio disebut twee lanen
("jalan dua lajur"). Hal ini tidak bertentangan Scipio. Winkler
menyebutkan jalan tersebut sejajar dengan aliran Ci Liwung lalu membentuk
siku-siku. Karena itu ia hanya mencatat satu jalan. Scipio menganggap jalan
yang berbelok tajam ini sebagai dua jalan yang bertemu.
Setelah
melewati sungai Jambuluwuk (Cibalok) dan melintasi "parit Pakuan yang
dalam dan berdinding tegak ("de diepe dwarsgragt van Pakowang") yang
tepinya membentang ke arah Ciliwung dan sampai ke jalan menuju arah tenggara 20
menit setelah arca. Sepuluh menit kemudian (pukul 10.54) sampai di lokasi
kampung Tajur Agung (waktu itu sudah tidak ada). Satu menit kemudian, ia sampai
ke pangkal jalan durian yang panjangnya hanya 2 menit perjalanan dengan berkuda
santai.
Bila kembali ke
catatan Scipio yang mengatakan bahwa jalan dan lahan antara Parung Angsana
dengan Cipaku itu bersih dan di mana-mana penuh dengan pohon buah-buhan, maka
dapat disimpulkan bahwa kompleks "Unitex" itu pada zaman Pajajaran
merupakan "Kebun Kerajaan". "Tajur" adalah kata Sunda Kuna
yang berarti "tanam, tanaman, atau kebun". Tajuragung sama artinya
dengan "Kebon Besar" atau Kebun Raya". Sebagai kebun kerajaan,
Tajuragung menjadi tempat bercengkerama keluarga kerajaan. Karena itu pula penggal
jalan pada bagian ini ditanami pohon durian pada kedua sisinya.
- Dari Tajuragung Winkler menuju ke daerah Batutulis menempuh jalan yang kelak (1709) dilalui Van Riebeeck dari arah berlawanan. Jalan ini menuju ke gerbang kota (lokasi dekat pabrik paku "Tulus Rejo" sekarang). Di situlah letak Kampung Lawanggintung pertama sebelum pindah ke "Sekip" dan kemudian lokasi sekarang (bernama tetap Lawanggintung). Jadi gerbang Pakuan pada sisi ini ada pada penggal jalan di Bantarpeuteuy (depan kompleks perumahan LIPI). Dulu di sana ada pohon gintung.
- Di Batutulis Winkler menemukan lantai atau jalan berbatu yang sangat rapi. Menurut penjelasan para pengantarnya, di situlah letak istana kerajaan (het conincklijke huijs soude daerontrent gestaen hebben). Setelah diukur, lantai itu membentang ke arah paseban tua. Di sana ditemukan tujuh pohon beringin.
- Di dekat jalan tersebut Winkler menemukan sebuah batu besar yang dibentuk secara indah. Jalan berbatu itu terletak sebelum Winkler tiba di situs Bautulis, dan karena dari batu bertulis perjalanan dilanjutkan ke tempat arca "Purwagalih", maka lokasi jalan itu harus terletak di bagian utara tempat batu bertulis (prasasti). Antara jalan berbatu dengan batu besar yang indah dihubungkan oleh "Gang Amil". Lahan di bagian utara Gang Amil ini bersambung dengan Balekambang ("rumah terapung"). Balekambang ini adalah untuk bercengkrama raja. Contoh bale kambang yang masih utuh adalah seperti yang terdapat di bekas Pusat Kerajaan Klungkung di Bali.
Dengan indikasi
tersebut, lokasi keraton Pajajaran mesti terletak pada lahan yang dibatasi
Jalan Batutulis (sisi barat), Gang Amil (sisi selatan), bekas parit yang
sekarang dijadikan perumahan (sisi timur) dan "benteng batu" yang
ditemukan Scipio sebelum sampai di tempat prasasti (sisi utara). Balekambang
terletak di sebelah utara (luar) benteng itu. Pohon beringinnya mestinya berada
dekat gerbang Pakuan di lokasi jembatan Bondongan sekarang.
- Dari Gang Amil, Winkler memasuki tempat batu bertulis. Ia memberitakan bahwa "Istana Pakuan" itu dikeliligi oleh dinding dan di dalamnya ada sebuah batu berisi tulisan sebanyak 8 1/2 baris (Ia menyebut demikian karena baris ke-9 hanya berisi 6 huruf dan sepasang tanda penutup).
Yang penting
adalah untuk kedua batu itu Winkler menggunakan kata "stond"
(berdiri). Jadi setelah terlantar selama kira-kira 110 th (sejak Pajajaran
burak, bubar atau hancur, oleh pasukan Banten th 1579), batu-batu itu masih
berdiri, masih tetap pada posisi semula.
- Dari tempat prasasti, Winkler menuju ke tempat arca (umum disebut Purwakalih, 1911 Pleyte masih mencatat nama Purwa Galih). Di sana terdapat tiga buah patung yang menurut informan Pleyte adalah patung Purwa Galih, Gelap Nyawang dan Kidang Pananjung. Nama trio ini terdapat dalam Babad Pajajaran yang ditulis di Sumedang (1816) pada masa bupati Pangeran Kornel, kemudian disadur dalam bentuk pupuh 1862. Penyadur naskah babad mengetahui beberapa ciri bekas pusat kerajaan seperti juga penduduk Parung Angsana dalam tahun 1687 mengetahui hubungan antara "Kabuyutan" Batutulis dengan kerajaan Pajajaran dan Prabu Siliwangi. Menurut babad ini, "pohon campaka warna" (sekarang tinggal tunggulnya) terletak tidak jauh dari alun-alun.
Laporan Abraham van Riebeeck
(1703, 1704, 1709)
Abraham adalah
putera Jan van Riebeeck
pendiri Cape Town di Afrika Selatan. Penjelajahannya di
daerah Bogor dan sekitarnya dilakukan dalam kedudukan sebagai pegawai tinggi
VOC. Dua kali sebagai Inspektur Jenderal dan sekali sebagai Gubernur Jenderal.
Kunjungan ke Pakuan tahun 1703 disertai pula oleh istrinya yang digotong dengan
tandu.
Rute perjalanan
tahun 1703: Benteng - Cililitan - Tanjung - Serengseng - Pondokcina - Depok -
Pondokpucung (Citayam) - Bojongmanggis (dekat Bojonggede) - Kedunghalang -
Parungangsana (Tanah Baru).
Rute perjalanan
tahun 1704: Benteng - Tanahabang - Karet - Ragunan - Serengseng - Pondokcina
dan seterusnya sama dengan rute 1703.
Rute perjalanan
tahun 1709: Benteng - Tanahabang - Karet - Serengseng - Pondokpucung -
Bojongmanggis - Pagerwesi - Kedungbadak - Panaragan.
Berbeda dengan
Scipio dan Winkler, van Riebeeck selalu datang dari arah Empang. Karena itu ia
dapat mengetahui bahwa Pakuan terletak pada sebuah dataran tinggi. Hal ini
tidak akan tampak oleh mereka yang memasuki Batutulis dari arah Tajur. Yang
khusus dari laporan Van Riebeeck adalah ia selalu menulis tentang de toegang
(jalan masuk) atau de opgang (jalan naik) ke Pakuan.
Beberapa hal
yang dapat diungkapkan dari ketiga perjalanan Van Riebeeck adalah:
- Alun-alun Empang ternyata bekas alun-alun luar pada zaman Pakuan yang dipisahkan dari benteng Pakuan dengan sebuah parit yang dalam (sekarang parit ini membentang dari Kampung Lolongok sampai Ci Pakancilan).
- Tanjakan Bondongan yang sekarang, pada zaman Pakuan merupakan jalan masuk yang sempit dan mendaki sehingga hanya dapat dilalui seorang penunggang kuda atau dua orang berjalan kaki.
- Tanah rendah di kedua tepi tanjakan Bondongan dahulu adalah parit-bawah yang terjal dan dasarnya bersambung kepada kaki benteng Pakuan. Jembatan Bondongan yang sekarang dahulunya merupakan pintu gerbang kota.
- Di belakang benteng Pakuan pada bagian ini terdapat parit atas yang melingkari pinggir kota Pakuan pada sisi Ci Sadane.
Pada kunjungan
tahun 1704, di seberang "jalan" sebelah barat tempat patung
"Purwa Galih" ia telah mendirikan pondok peristirahatan
("somerhuijsje") bernama "Batutulis". Nama ini kemudian
melekat menjadi nama tempat di daerah sekitar prasasti tersebut.
Hasil Penelitian
Prasasti
Batutulis sudah mulai diteliti sejak tahun 1806 dengan pembuatan "cetakan
tangan" untuk Universitas Leiden (Belanda). Upaya pembacaan pertama
dilakukan oleh Friederich tahun 1853. Sampai tahun 1921 telah ada empat orang
ahli yang meneliti isinya. Akan tetapi, hanya Cornelis Marinus Pleyte yang mencurahkan pada
lokasi Pakuan, yang lain hanya mendalami isi prasasti itu.
Hasil
penelitian Pleyte dipublikasikan tahun 1911 (penelitiannya sendiri berlangsung
tahun 1903). Dalam tulisannya, Het Jaartal op en Batoe-Toelis nabij
Buitenzorg atau "Angka tahun pada Batutulis di dekat Bogor", Pleyte
menjelaskan,
"Waar alle legenden, zoowel als
de meer geloofwaardige historische berichten, het huidige dorpje Batoe-Toelis,
als plaats waar eenmal Padjadjaran's koningsburcht stond, aanwijzen, kwam het
er aleen nog op aan. Naar eenige preciseering in deze te trachten".
(Dalam hal legenda-legenda dan
berita-berita sejarah yang lebih tepercaya, kampung Batutulis yang sekarang
terarah sebagai tempat puri kerajaan Pajajaran; masalah yang timbul tinggalah
menelusuri letaknya yang tepat).
Sedikit
kotradiksi dari Pleyte: meski di awalnya ia menunjuk kampung Batutulis sebagai
lokasi keraton, tetapi kemudian ia meluaskan lingkaran lokasinya meliputi
seluruh wilayah Kelurahan Batutulis yang sekarang. Pleyte mengidentikkan puri
dengan kota kerajaan dan kadatuan Sri Bima Narayana Madura Suradipati dengan
Pakuan sebagai kota.
Babad Pajajaran
melukiskan bahwa Pakuan terbagi atas "Dalem Kitha" (Jero kuta) dan
"Jawi Kitha" (Luar kuta). Pengertian yang tepat adalah "kota
dalam" dan "kota luar". Pleyte masih menemukan benteng tanah di
daerah Jero Kuta yang membentang ke arah Sukasari pada pertemuan Jalan
Siliwangi dengan Jalan Batutulis.
Peneliti lain
seperti Ten Dam menduga letak keraton di dekat kampung Lawang Gintung (bekas)
Asrama Zeni Angkatan Darat. Suhamir dan Salmun bahkan menunjuk pada lokasi
Istana Bogor yang sekarang. Namun pendapat Suhamir dan Salmun kurang ditunjang
data kepurbakalaan dan sumber sejarah. Dugaannya hanya didasarkan pada anggapan
bahwa "Leuwi Sipatahunan" yang termashur dalam lakon-lakon lama itu terletak
pada alur Ci Liwung di dalam Kebun Raya Bogor. Menurut kisah klasik, leuwi
(lubuk) itu biasa dipakai bermandi-mandi para puteri penghuni istana. Lalu
ditarik logika bahwa letak istana tentu tak jauh dari "Leuwi
Sipatahunan" itu.
Pantun Bogor
mengarah pada lokasi bekas Asrama Resimen "Cakrabirawa" (Kesatrian)
dekat perbatasan kota. Daerah itu dikatakan bekas Tamansari kerajaan bernama
"Mila Kencana". Namun hal ini juga kurang ditunjang sumber sejarah
yang lebih tua. Selain itu, lokasinya terlalu berdekatan dengan kuta yang
kondisi topografinya merupakan titik paling lemah untuk pertahanan Kota Pakuan.
Kota Pakuan dikelilingi oleh benteng alam berupa tebing-tebing sungai yang
terjal di ketiga sisinya. Hanya bagian tenggara batas kota tersebut berlahan
datar. Pada bagian ini pula ditemukan sisa benteng kota yang paling besar.
Penduduk Lawanggintung yang diwawancara Pleyte menyebut sisa benteng ini
"Kuta Maneuh".
Sebenarnya
hampir semua peneliti berpedoman pada laporan Kapiten Winkler (kunjungan ke
Batutulis 14 Juni 1690). Kunci laporan Winkler tidak pada sebuah hoff
(istana) yang digunakan untuk situs prasasti, melainkan pada kata
"paseban" dengan tujuh batang beringin pada lokasi Gang Amil. Sebelum
diperbaiki, Gang Amil ini memang bernuansa kuno dan pada pinggir-pinggirnya
banyak ditemukan batu-batu bekas "balay" yang lama.
Panelitian
lanjutan membuktian bahwa benteng Kota Pakuan meliputi daerah Lawangsaketeng
yang pernah dipertanyakan Pleyte. Menurut Coolsma, "Lawang Saketeng"
berarti "porte brisee, bewaakte in-en uitgang" (pintu gerbang lipat
yang dijaga dalam dan luarnya). Kampung Lawangsaketeng tidak terletak tepat
pada bekas lokasi gerbang.
Benteng pada
tempat ini terletak pada tepi Kampung Cincaw yang menurun terjal ke ujung
lembah Ci Pakancilan, kemudian bersambung dengan tebing Gang Beton di sebelah
Bioskop Rangga Gading. Setelah menyilang Jalan Suryakencana, membelok ke
tenggara sejajar dengan jalan tersebut. Deretan pertokoan antara Jalan
Suryakencana dengan Jalan Roda di bagian ini sampai ke Gardu Tinggi sebenarnya
didirikan pada bekas pondasi benteng.
Selanjutnya
benteng tersebut mengikuti puncak lembah Ci Liwung. Deretan kios dekat
simpangan Jalan Siliwangi - Jalan Batutulis juga didirikan pada bekas fondasi
benteng. Di bagian ini benteng tersebut bertemu dengan benteng Kota Dalam yang
membentang sampai ke Jero Kuta Wetan dan Dereded. Benteng luar berlanjut
sepanjang puncak lereng Ci Liwung melewati kompleks perkantoran PAM, lalu
menyilang Jalan Raya Pajajaran, pada perbatasan kota, membelok lurus ke barat
daya menembus Jalan Siliwangi (di sini dahulu terdapat gerbang), terus
memanjang sampai Kampung Lawang Gintung.
Di Kampung
Lawanggintung benteng ini bersambung dengan "benteng alam" yaitu
puncak tebing Ci Paku yang curam sampai di lokasi Stasiun Kereta Api Batutulis.
Dari sini, batas Kota Pakuan membentang sepanjang jalur rel kereta api sampai
di tebing Ci Pakancilan setelah melewati lokasi Jembatan Bondongan. Tebing Ci
Pakancilan memisahkan "ujung benteng" dengan "benteng" pada
tebing Kampung Cincaw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar